Kamis, 30 Agustus 2012

PART 3: Paradigma Berpikir yang Sama. Sebuah Stagnasi atau Universalitas?


on Thursday, May 10, 2012 at 4:26pm ·

Mengapa saya memasukkan wacana ini menjadi sebuah latar belakang dalam rencana proyek yang pernah saya angkat. Ada beberapa hal yang menjadi pertanyaan pertanyaan di benak saya untuk menjembatani sebuah perbedaan mendasar yang ada di dalam paradigma berpikir tiap tiap manusia. Rasanya begitu abstrak dengan kata kata ini. Sayapun merasa begitu, tapi marilah, dalam perjalanan ini, kita semakin beranjak tua dan masing masing memiliki sebuah pemahaman tersendiri dalam memandang tentang adanya sebuah realitas.
Dimulai dari sini, seorang teman pernah mengirimkan sebuah pesan singkat kepada saya, dalam pesan itu, ia bertanya,”Orang yang religius  itu sebenernya gimana sih” dengan sedikit terkejut saya berpikir ulang, dan menjawab, “obey His rule and avoid His prohibition, and EQ,SQ,IQ in balancing.”  Mungkin sama dengan yang ada di benak anda saat ini. Ya, terlalu umum, tidak berbeda dengan pelajaran pendidikan moral yang telah kita dapatkan selama bertahun tahun di bangku sekolah bahkan hingga level universitas. Dan dia mengatakan bahwa dia membutuhkan jawaban yang mengarah pada sebuah perilaku terapan. Dan aku mempertanyakan apa faedahnya mengetahui sebuah makna terutama makna terapan dari hal religiusitas. Iapun menjawab bahwa hal itu akan mengarahkannya melakukan perilaku perilaku yang memuat nilai nilai tertentu yang diyakininya. Yang pasti bisa pembaca prediksikan, tentu hal ini menyangkut hal hal yang sifatnya religi. Mungkin jawaban yang ada kemudian bisa dianggap semakin ngawur, pada waktu itu saya menjawab.
Religius means
Buang sampah pada tempatnya.
Hemat listrik.
Tidak memakai plastik secara berlebihan.
Tidak konsumtif.
Belajar dengan rajin sesuai dengan kontribusi yang akan diberikannya pada kehidupan.
Bersikap tulus.
Mempelajari politik.
Memberi makan pada orang orang yang kelaparan.
 Dan lain sebagainya.
Aneh? Malahan tampak seperti seorang pecinta lingkungan yang meninggi ninggikan perilaku kecintaan lingkungannya, atau seseorang yang antibelanja, atau siswa yang memiliki pandangan study oriented.  Belum lagi berpandangan naif atau altruistik. Begitukah religius? Religi macam apa itu. Mungkin kita lebih cocok membayangkan seorang rahib berjubah kuning, berkepala gundul, memiliki senyum yang khas dengan kekalemannya, dan tutur kata yang lembut serta santun untuk menunjang perilaku khususnya itu.
Dan dari salah satu contoh itu, saya lebih ingin menyoroti mengenai bisa begitu berbedanya orang yang satu dengan yang lain menanggapi sebuah kata yang sama. Sebuah hal yang sama. Sehingga inilah yang kemudian menjadi awalan dalam judul saya ini.
Melakukan penafsiran penafsiran terhadap berbagai hal yang ada di dunia ini memang tidak serta merta hanya merujuk pada apa yang nampak saja. Nah, oleh sebab itulah. Sebuah paradigma yang sama memang bisa menghantarkan pada hakekat suatu realitas itu sendiri, atau mungkin menjauhkannya. Namun memang ada sebuah kemungkinan bahwa sebuah kesamaan paradigma yang menolak untuk menerima sesuatu yang baru, memilih untuk menutup atau mengasingkan diri, akan lebih mudah terbawa pada sebuh situasi yang stagnan. Paradigma yang sama mengenai sebuah hal juga mungkin memiliki sebuah universalitas penyikapan terhadap sesuatu hal. Paradigma yang bagaimanakah?




*saya sangat berharap pada ide segar kawan kawan saya yang penuh talenta ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar