Kamis, 30 Agustus 2012

pembelajaran-

on Tuesday, August 21, 2012 at 11:48am ·


para pendiri kompas dan intisari berasal dari kalangan guru,pegawai negeri menengah dan wartawan, yakni kalangan yang waktu itu berpenghasilan rendah, tidak bermodal, dan tidak termasuk golongan ekonomi kuat. Mereka tidak menerima warisan orangtua yang cukup untuk 7 turunan. Mereka mau tidak mau hidup sederhana dan terbiasa dengan cara hidup yang sederhana...

Sifat yang kentara, mereka orang orang jujur. Hanya dalam 1 hal mereka kaya: kaya dengan cita cita. Mereka mula mula menerbitkan majalah dan harian. Pengalaman tak banyak, modal sedikit. Ini kelemahannya. Segi kekuatan: mereka sadar bahwa mereka sebagai individu individu lemah yang harus bekerja sama dan bersatu. Dan sudah tentu bersedia banting tulang.

judulnya di bawah situ


 on Friday, August 17, 2012 at 5:12pm ·

-Pertemuan sepertinya juga menerapkan hukum Gossen 1-
Anda pasti sudah mengenal 3 teori Gossen pada pelajaran ekonomi sewaktu menimba ilmu di sekolah menengah dahulu. Mengenai hukum utilitas. Bahwa sebuah kepuasan akan terus berkurang setelah satu pemenuhan kebutuhan sudah tercapai.
Judul di atas merupakan sebuah hipotesis terhadap pengalaman yang berulangkali saya rasakan dan membuat saya teringat tentang perkataan guru les matematika saya tentang penerapan hukum Gossen yang berulangkali dicontohkan dengan bakso,mi ayam, ataupun makanan makanan lain. Memang sepertinya hukum ekonomi sangat lekat dengan kebutuhan fisik seseorang namun kenyataannya memang manusia memiliki banyak kebutuhan lain yang cenderung mengarah pada kebutuhan psikologis.
Sore tadi, saya bertemu (dengan sengaja) dengan beberapa teman yang sebelumnya sangat saya harap harapkan kedatangan mereka. Kami berbincang bincang mengenai banyak hal, tentu saja perihal dinamika kehidupan. Namun karena pertemuan tersebut melibatkan banyak orang yang sudah memiliki minat dan keseharian yang berbeda beda, (sekitar 8 orang) maka pembicaraan kami cenderung kurang jelas arahnya dan agak simpang siur alias ngalor ngidul. Namun ada beberapa dari kawan tersebut yang cenderung berkomunikasi lebih intensif dengan saya. 2 di antaranya merupakan kawan yang telah lama tidak bertemu dan, kali ini adalah pertemuan ke”2” setelah waktu yang lama itu, salah satu dari orang itu memang seorang kawan dekat dulu semasa sma. kemudian 3 di antaranya cenderung lebih sering bertemu dan berkomunikasi, dan 2 lagi adalah pertemuan yang pertama setelah waktu yang lama.
Manakah yang saya bicarakan dalam kasus ini? Mungkin ada sudah bisa menebak, dan barangkali pula anda benar. yakni yang pertama. Sekitar 3 minggu lalu, saya bertemu dengan 2 orang ini dalam kesempatan yang berbeda. Orang pertama, sebut saja si X memang saya harapkan pertemuan dengannya karena dia adalah seorang motivator muda yang canggih. Dia pasti bisa menceritakan berbagai (benar benar berbagai –dari lika liku bisnisnya hingga filosofi hidup yang sudah kebapak bapakan-) hal dengan gayanya yang khas, sebuah ambisi berapi api yang bisa mempengaruhi atmosfer sekitar dia berada. Dan yang kedua, si Y yang notabene pendiam tetap saja bisa banyak bercerita mengenai kehidupan pribadinya yang –ternyata dia juga tidak menyangka ada hal hal seperti itu dalam hidupnya bhwa ia pun merasa tidak neko neko- yang pasti dengan suasana interaksi yang cenderung personal dan keingintahuan keingintahuan kabar karena telah lama tak bertemu.
Namun dalam pertemuan berikutnya, yakni pertemuan kali ini, saya merasa ada sesuatu yang berbeda dengan pertemuan waktu itu. Pertemuan ini seolah tidak semenarik pertemuan kemarin dan ada ruang beku di antara interaksi kali ini. Saya ingin mengambil beberapa pelajaran dari sini, bahwa saya merasakan ketakmenarikan itu karena saya butuh kebaruan kebaruan yang tidak dirasakan oleh teman teman saya yang lain, karena ia dan saya telah bertemu beberapa waktu lalu dan mereka tidak. Sehingga beberapa hal yang sebenarnya menarik, menjadi kurang menarik karena saya telah mendapatkannya sebelumnya. Sedangkan dengan teman saya yang satu lagi, ia telah bercerita panjang lebar dan sebenar benarnya dia pendiam bukan? Sehingga dalam pertemuan kali ini kita sudah kehabisan topic pembicaraan. Namun sebenarnya, bisa menjadi kondisi yang
berbeda apabila intensitas pertemuan itu begitu rutin atau memang menjadi rutinitas, karena keseharian yang saling diketahui satu sama lain. Sehingga boleh jadi, ada 2 kemungkinan yang ada bahwa pertemuan akan menjadi begitu bermakna atau “akan menjadi membosankan dan beku” bila tidak ataupun disertai sebuah tujuan akan dibawa kemana pertemuan itu.
Ratsari.

ngrasani.jangan ditiru-

 on Friday, August 17, 2012 at 4:53pm ·

Ketika sedang mengantar ibu saya yang sedang meringkuk ;) di rumah sakit, ke kamar mandi , saya merasa membutuhkan sepasang sandal. Ya, sandal, tentu sandal jepit yang empuk, dan nyaman dikenakan. Tapi, dasar saya memang orang yang suka berimajinasi, dan saya memang sedang dihantui oleh sepatu saya yang robek di belakang –entah kenapa ia tidak bersahabat di saat seperti ini, tidak mungkin kan saya sempat membeli sepasang sepatu di tengah kondisi lebaran yang pasti banyak orang berjubel dimana saja, segala umat tumplek blek di ruang ruang perbelanjaan--  pikiran saya langsung tertuju pada bu Wulan. Anda pasti tidak tahu siapa dia, dan saya tidak akan memberitahukan siapa dia lebih lanjut. Hanya karena nama ini cukup “aman” , maka saya berani berani saja menyebut namanya. Saya teringat ketika saya berkunjung ke rumahnya dan mendapati beberapa pasang sepatu, dan sandal dengan merk yang sering dijumpai di pusat pusat perbelanjaan kelas menengah agak berserak di halamannya. Merk merk itu memang cukup favorit di kalangan ibu ibu muda atau remaja putri yang cukup berduit atau setidaknya menaruh cukup perhatian pada telapak kaki mereka supaya tampak lebih berkelas. Awalnya saya memang tidak mengenal si bu wulan ini. Saya hanya mengetahui dimana tempat kerjanya dan bahwa dia cukup berduit ditilik dari perabot dan barang barang yang ia miliki. Namun setelah bertemu sejenak dan bercakap cakap, saya merasa agak “ilfil” dengannya. Saya tidak menemukan sesuatu yang istimewa darinya. Saya bahkan menganggap bahwa ia agak –maaf- kurang nyambung ketika diajak berbicara, dan saya menganggap ia adalah seorang perempuan yang terjajah oleh lifestyle. Saya agak menyayangkan bahwa saya menemui cukup banyak perempuan yang setipe dengan bu Wulan itu. Namun yang menjadi pertanyaan saya juga, kenapa orang seperti bu Wulan ini bisa bekerja di sebuah perusahaan yang cukup bonafit di kota saya ini walaupun saya tidak tahu ia menempati posisi apa. Dan kemudian saya teringat lagi pada profesi lain yang barangkali cukup menjanjikan bahwa banyak sekali orang orang yang bekerja sebagai pegawai bank, dengan tampilan fisik yang “lumayan” menarik dan lulusan dari jurusan (apa saja) entah sarjana pertanian, hukum, atau apapun saya mendapati mereka bekerja sebagai pegawai bank. Ketika saya sempat berbincang bincang dengan salah satunya,begini isi pembicaraannya,
 Ibu itu:  “Mbaknya dulu SMA X ya..”
Saya: “iya bu.. kalau ibu?”
Ibu itu : “Oh.. saya cuma SMA Y kok..”
Saya : Ooo…
si ibu ini merasa bahwa barangkali saya lebih dari beliau karena sekolah saya yang lebih favorit, padahal nyata nyata saat ini saya juga masih mempertanyakan makna favorit itu sendiri. Tapi membahas masalah itu dengannya rasanya kurang relevan, sehingga saya memilih untuk diam dan membatin. “Barangkali ibu salah bu berpikiran seperti itu, karena sebenarnya system pendidikan kita ini menyamaratakan kemampuan, padahal kita tahu bahwa setiap individu lahir dengan talentanya masing masing dan tidak bisa begitu saja diseragamkan. Namun bagaimana lagi, kita hidup dan berkembag dalam tuntutan kebutuhan ekonomi dan barangkali pula tuntutan penghargaan lingkungan sekitar. Sehingga seringkali kita memang tidak bisa melepaskan diri dari hal hal tersebut, dan terbawa pada mindframe bahwa bekerja sebagai pegawai bank akan membawa pada kebahagiaan hidup. *contohnya. Manusia manusia masa kini –barangkali angkatan beberapa tahun di atas saya, terutama orangtuanya—yang telah memasuki jebakan system pragmatis sulit untuk mengenali keunikan individu dan bagaimana pengembangannya.
Rasa rasanya saya lebih mendukung mereka menjadi ibu rumah tangga yang baik, yang akan memberikan banyak perhatian pada tumbuh kembang anaknya, yang akan memberikan pendidikan sesuai dengan minat dan bakatnya untuk berkontribusi penuh bagi kehidupan tanpa lupa memenuhi apa yang menjadi kebutuhan utamanya sesuai porsi. Melawan arus pragmatisme pendidikan yang telah menjadi system dan paradigma masyarakat kebanyakan.
Bahwa sampai saat ini saya memanglah masih seorang mahasiswa yang awam yang barangkali pula terlalu dangkal memandang bu Wulan, namun saya berharap bahwa nantinya system pendidikan kita tidak akan mencetak orang orang yang “seragam”, orang orang  yang hidup hanya untuk mengejar “gaya hidup” ^_^

rujukan rubrik.

 on Thursday, May 24, 2012 at 1:11am ·


Aku memang tidak punya apa apa sekarang, yang kumiliki hanyalah sebuah idealisme beserta beberapa kebaikan dari teknologi masa kini. Yang aku punya beberapa gelintir teman dan saudara  yang baik, itupun mungkin hadiah dari Tuhan. Aku sangat berharap pada tamu tamu yang akan ramai berkunjung dan berdiskusi, pada anak muda yang bisa menghabiskan sedikit sorenya untuk duduk dan membaca wacana wacana yang secara niat memang diperuntukkan bagi mereka. Akankah membosankan bagi mereka? Apakah memaksakan sebuah ide yang bisa jadi kuno dan tidak mengikuti gaya hidup di hadapan mereka? Atau mungkinkah, dari awalan itu bisa menjadi pokok topik pembicaraan hingga menjadi bertransformasi menjadi sebuah gaya hidup di antara mereka, para muda?
kalaupun itu hanyalah sebuah mimpi, aku mempercayai, adalah sebuah mimpi indah. Mari... :)

Promosi part 1. (promosi kok bilang2) by Ratsari Mardika on Wednesday, May 9, 2012 at 12:40am ·


Menjadi seorang pemimpin yang baik. Tidak mudah? Tentu saja. Namun apakah tidak mungkin? Tentu saja tidak.
Melalui berbagai proses dan dinamika kehidupan, ternyata memang sebuah proses kepemimpinan sangatlah sulit dan berliku. Namun ketika berhasil, buah manislah yang dipetik. Dalam mata kuliah kepemimpinan yang pernah saya dapatkan, saya melihat bahwa seorang pemimpin adalah decision maker yang tepat. Ia mampu menghitung kekuatan, kelemahan kondisi makro, pesaing dsb sehingga mampu melahirkan keputusan yang pas dengan kondisi yang dimilikinya. Ini, bila berhubungan dengan persoalan strategi.
Pemimpinpun tentu memiliki sesuatu yang dipimpin atau berada di bawah kepemimpinannya. Merekalah manusia. Manusia memiliki berbagai karakteristik,persepsi, pemikiran, latar belakang yang sangat beragam jumlahnya. Sebagai seorang pemimpin yang baik, tentulah ada proses proses bagaimana cara memahami mereka, namun yang perlu digaris bawahi, memahami tidak selalu menyenangkan atau membuat senang. Mungkin secara lebih tepatnya, yaitu membuat mereka nyaman dan memiliki kecintaan terhadap tujuan kerja mereka.
Melahirkan pemimpin pemimpin ideal berarti berusaha mewujudkan sosok sosok yang bisa menawarkan berbagai upaya pemecahan kondisi yang berantakan supaya bisa diatur menjadi rapi. Melahirkan pemimpin pemimpin ideal berarti menyumbangkan begitu besar energi demi terciptanya sebuah kebaikan. Dimanakah posisimu? Apa yang ingin kamu sumbangkan untuk melahirkan orang orang yang memiliki pemikiran dan moral yang baik?









*ada apakah ini kenapa tiba tiba mengangkat tema pemimpin.

Part 2 Bagaimana seharusnya remaja-generasi muda (kita?)


Generasi muda. Sebuah bagian masa dari perjalanan kehidupan yang utuh. Bagian  dari masyarakat yang senantiasa dielukan, ditinggikan, optimistis dan pandai. Generasi yang selalu ditunggu suara suara kritisnya. Generasi yang selalu diharapkan mampu membawa angin segar kehidupan.
Sudah cukup lama persoalan persoalan remaja cukup sulit terkendali. Hal ini terbukti dengan berbagai bentrokan yang tidak jarang menyebabkan terjadinya kematian kematian dengan angka yang tidak sedikit pada remaja. Padahal seringkali hal hal seperti ini tidak dipicu oleh sesuatu yang jelas, tidak dipicu oleh sebuah hal yang benar benar perlu untuk dipersoalkan, mungkin hal ini akan menjadi berbeda antara orang per orang, namun kita juga telah dibekali sejak lahir, akal untuk memikirkan hal ini semua, menilai sesuatu, mempertimbangkan dan bertindak. Kejadian kejadian itu seolah merujuk pada kondisi remaja yang benar benar labil secara emosi. Hanya sebuah keinginan untuk menunjukkan kekuatannya, dsb. Sayapun pernah membaca dari sebuah media yang menyatakan ada seorang remaja putri yang masih duduk di bangku kelas 1 SMA yang meninggal karena entah mengalami keracunan atau tubuhnya tidak kuat menerima minuman keras yang ditenggaknya. Hipotesa mengatakan hal itu bukan keinginannya sendiri. Hal inipun membuktikan bahwa kelompok atau individu acuan cukup berpengaruh bagi pemilihan perilaku si remaja. Belum lagi maraknya media jejaring sosial yang dengan mudahnya mengangkat berbagai isu, yang seringkali hanya ditanggapi secara dangkal. Dan juga tak jarang menjadi sumber pemasukan nilai nilai yang menjadikan adanya sebuah gaya hidup. Mungkin praktis, konsumtif, membawa kenikmatan sesaat, dan lain sebagainya.
Kita seringkali mendengar berbagai ekspektasi yang tinggi dari generasi sebelumnya bagi orang orang muda ini. Yang katanya memiliki banyak energi berlebih. Yang selalu  aktif dan terkadang reaktif. Potensi potensi ini memang sangat layak bila mendapatkan perhatian dan harapan bagi banyak pihak.
Tidak perlu memulai sesuatu dari hal hal yang berjauhan dengan posisi kita saat ini atau sebelumnya. Saya mengambil potret remaja muda yang sempat berbentrok dengan sistem sekolahnya karena memperjuangkan apa yang menurutnya benar. Sebuah film dokumenter berjudul “Sekolah Kami Hidup Kami” berdurasi sekitar 15 menit ini mengisahkan sebuah perjuangan dari seorang anak muda yang memiliki ide subversif karena ketidakbenaran dan kebobrokan di sekitarnya. (tentu tokoh itu bisa kita jadikan tokoh inspiratif untuk rubrik seseorang kita nanti :p), dengan strategi dan kapasitasnya waktu itu, ia menggalang kekuatan untuk mewujudkan ide itu menjadi sebuah aksi nyata. Itu bila kita melihat sejarah masa lampau :p baru baru ini saya membaca kisah kisah  mengenai remaja berprestasi. Ada seorang remaja putri (usia SMA)  yang membuat sebuah permainan ular tangga. Apa menariknya ular tangga ini? Dalam tiap langkah permainan ini, ia memberikan pesan pesan seputar freesex dan berbagai risiko yang menyertainya. Iapun sibuk mengkampanyekan permainan ini pada teman teman sebayanya. Kitapun tidak jarang mendengar mengenai remaja remaja sekolah menengah kejuruan yang telah sukses melakukan daur ulang bahan bahan yang masih bisa dipergunakan. Ada yang bertujuan untuk mengurangi sampah, hingga melakukan penghematan energi dengan pembuatan teknologi berbahan bakar sumber daya yang dapat diperbaharui. Geliat anak anak muda makin terlihat, tidak hanya dengan rajin belajar di sekolah, namun mereka semakin mampu menerapkan ilmunya demi pemecahan pemecahan masalah yang ada dalam kehidupan sehari hari. Hal hal seperti ini yang tentu saja perlu kita beri apresiasi yang tinggi, supaya semangat itu terus menyala.
Memberikan sebuah pengaruh bagi cara pandang remaja, menurut saya adalah  sebuah hal yang harus. Tanpa ba bi bu, tanpa menjadikannya sebagai prioritas entah ke berapa.
Tentu, pengaruh itu sesuai dengan apa yang menjadi harapan bersama, pengaruh tidak memastikan hanya berasal dari satu pihak, namun pengaruh membawa sebuah ruang untuk saling berkomunikasi, mencari solusi solusi terbaik.
Perbedaan bukan sesuatu hal yang menjadi alasan untuk melakukan bentrokan, namun perbedaan membuka celah untuk berkomunikasi. (Rio Satriawan-maaf tidak sama persis)


Membuat kita bersama sama berpikir ulang mengenai kontribusi apa yang hendak kita berikan pada kehidupan, sejak dini bukankah adalah harapan kita bersama, hai generasi muda?

PART 3: Paradigma Berpikir yang Sama. Sebuah Stagnasi atau Universalitas?


on Thursday, May 10, 2012 at 4:26pm ·

Mengapa saya memasukkan wacana ini menjadi sebuah latar belakang dalam rencana proyek yang pernah saya angkat. Ada beberapa hal yang menjadi pertanyaan pertanyaan di benak saya untuk menjembatani sebuah perbedaan mendasar yang ada di dalam paradigma berpikir tiap tiap manusia. Rasanya begitu abstrak dengan kata kata ini. Sayapun merasa begitu, tapi marilah, dalam perjalanan ini, kita semakin beranjak tua dan masing masing memiliki sebuah pemahaman tersendiri dalam memandang tentang adanya sebuah realitas.
Dimulai dari sini, seorang teman pernah mengirimkan sebuah pesan singkat kepada saya, dalam pesan itu, ia bertanya,”Orang yang religius  itu sebenernya gimana sih” dengan sedikit terkejut saya berpikir ulang, dan menjawab, “obey His rule and avoid His prohibition, and EQ,SQ,IQ in balancing.”  Mungkin sama dengan yang ada di benak anda saat ini. Ya, terlalu umum, tidak berbeda dengan pelajaran pendidikan moral yang telah kita dapatkan selama bertahun tahun di bangku sekolah bahkan hingga level universitas. Dan dia mengatakan bahwa dia membutuhkan jawaban yang mengarah pada sebuah perilaku terapan. Dan aku mempertanyakan apa faedahnya mengetahui sebuah makna terutama makna terapan dari hal religiusitas. Iapun menjawab bahwa hal itu akan mengarahkannya melakukan perilaku perilaku yang memuat nilai nilai tertentu yang diyakininya. Yang pasti bisa pembaca prediksikan, tentu hal ini menyangkut hal hal yang sifatnya religi. Mungkin jawaban yang ada kemudian bisa dianggap semakin ngawur, pada waktu itu saya menjawab.
Religius means
Buang sampah pada tempatnya.
Hemat listrik.
Tidak memakai plastik secara berlebihan.
Tidak konsumtif.
Belajar dengan rajin sesuai dengan kontribusi yang akan diberikannya pada kehidupan.
Bersikap tulus.
Mempelajari politik.
Memberi makan pada orang orang yang kelaparan.
 Dan lain sebagainya.
Aneh? Malahan tampak seperti seorang pecinta lingkungan yang meninggi ninggikan perilaku kecintaan lingkungannya, atau seseorang yang antibelanja, atau siswa yang memiliki pandangan study oriented.  Belum lagi berpandangan naif atau altruistik. Begitukah religius? Religi macam apa itu. Mungkin kita lebih cocok membayangkan seorang rahib berjubah kuning, berkepala gundul, memiliki senyum yang khas dengan kekalemannya, dan tutur kata yang lembut serta santun untuk menunjang perilaku khususnya itu.
Dan dari salah satu contoh itu, saya lebih ingin menyoroti mengenai bisa begitu berbedanya orang yang satu dengan yang lain menanggapi sebuah kata yang sama. Sebuah hal yang sama. Sehingga inilah yang kemudian menjadi awalan dalam judul saya ini.
Melakukan penafsiran penafsiran terhadap berbagai hal yang ada di dunia ini memang tidak serta merta hanya merujuk pada apa yang nampak saja. Nah, oleh sebab itulah. Sebuah paradigma yang sama memang bisa menghantarkan pada hakekat suatu realitas itu sendiri, atau mungkin menjauhkannya. Namun memang ada sebuah kemungkinan bahwa sebuah kesamaan paradigma yang menolak untuk menerima sesuatu yang baru, memilih untuk menutup atau mengasingkan diri, akan lebih mudah terbawa pada sebuh situasi yang stagnan. Paradigma yang sama mengenai sebuah hal juga mungkin memiliki sebuah universalitas penyikapan terhadap sesuatu hal. Paradigma yang bagaimanakah?




*saya sangat berharap pada ide segar kawan kawan saya yang penuh talenta ini.