Jumat, 06 April 2012

15 Februari 2012, Awal Mula Perjalanan


15 Februari 2012, Awal Mula Perjalanan
 (Pertanggungjawaban dari perjalanan menyusur kota 3)
Ada banyak hal yang lupa dituliskan, atau sepertinya dan sebenarnya tidak lupa, tapi terlalu lama menunggu dan berada dalam sebuah pertikaian. Menunggu apa? Menunggu nunggu ide dan inspirasi datang, yang sebenarnya bukanlah sebuah alasan, karena sudah banyak kata motivasi diutarakan, jangan biarkan kamu menunggu ia datang, sehingga sebenarnya yang ada adalah sebuah pertikaian. Ya, antara niat dan perwujudan. Antara khayalan dan kenyataan. Bahwa kemalasan adalah sebuah musuh besar dan ia tidak akan hilang ketika semangat perlawanan semakin lama semakin hilang. Ya, tentu saja. Kembali kepada tanggal 31 januari yang telah lalu. Sebuah perjalanan dimulai. Aku menyebutnya sebagai perjalanan menuju titik kulminasi awal. Entah yang kedua ketiga atau berapapun, sebuah perbuatan perlu dilakukan ketika moralitas sudah mengalami penurunan kualitas, ketika sebuah jiwa bak mesin jahit merindukan oli mesin.
Berjalan menuju barat bersama serombongan teman yang beranjak pula menuju rumah kediaman mereka. Titik awal mereka. Dalam perjalanan ini  kupikir akan ada sesuatu yang baru, pemandangan yang lain, selain  kereta ekonomi yang lebih bersih daripada sebelumnya karena penataan tiket kereta api yang mengharuskan semua penumpangnya duduk dan tidak diperbolehkannya terlalu banyak pedagang asongan berkeliaran, walaupun beberapa anak kecoa masih sibuk berlalu lalang  di antara kaki kaki kami.
10, 15, 30 menit berlalu, tidak ada sesuatu yang mengesankan. Obrolan kami berlangsung , gelak tawa, perenungan, terdiam bersama adalah sesuatu yang biasa.  Beberapa tumbang, dihantam kantuk yang menyerang. Sore berlalu, kami melewati sebuah wilayah yang mengingatkan pada seseorang di televisi, nama daerah ini terkesan angker, sebelum memasuki wilayah Jepara, Cepu dan sebagainya.  Randu Belatung. Beberapa saat kemudian seorang Bapak  naik dan duduk di antara kawan kawan seperjuangan. Awalnya kami menganggapnya sebagai seorang penumpang seperti kebanyakan. Namun ternyata, sistem yang menaungi kami di dalam kereta itu tidak membuatnya menjadi begitu. Pemeriksaan karcis berlangsung, seorang kondektur didampingi seorang yang biasanya mengaku bahwa dirinya adalah seorang petugas keamanan.  Kami berada dalam deretan yang sama. 2 bangku berisi 4 orang yang duduk berhadapan dan 2 bangku berisi 6 orang yang berhadapan. Blok kami telah selesai diperiksanya, saatnya, bangku sebelah. Kawan kawan kami tidak memiliki sesuatu apapun yang bisa dijadikan celah perilaku menyimpang. Tiba kemudian saatnya pemeriksaan tiket milik bapak tersebut. Sebuah kericuhan kecil terjadi. Tawar menawar dan penetapan harga pas terjadi. Wajah bapak itu menyiratkan wajah tak berdaya kebanyakan orang Indonesia yang tertindas  system di negerinya sendiri (lawas-….lawas banget memang).  Namun, perjalanan ini ternyata memang dimulai dari sini. Dalam ketidak tahuan dan keingintahuan kami, dengan data dan analisa seadanya, kami mulai membicarakan (*ngrasani dalam bahasa Jawa) bapak itu, tepatnya aku dan seorang teman di hadapanku.
What’s wrong with him?”
“ I think he must pay more for the seat.”
“what the **”
“ Are there any rules which manage about the payment of the violation?”
“No, I think..”
“So, how could it be?”
“  ;(  I don’t know”
“ what’s the matter?”
“ I think, he  sat on the wrong place, I mean, he would had permit to sit, when our friends go down, he may sit when we have dropped in Semarang.”
“Ah ya, maybe it’s also not a fault, because that seat actually empty.”
“I don’t know exactly, but if he must pay a fine,
Hmmm, will be the fine is used by them to improve the management of our train transportation?”
“Hah!!  I don’t know, I think no, what will you do with the money about ten or twelve  thousand rupiahs, maybe it’ll just “plug in” the pocket of them.” :(
Ok , well, after that we start to imagine how we remove corruption in our country to cure our disappointing about the government.
Beberapa saat kemudian, kereta api tiba stasiun  Poncol. Beberapa dari kami meninggalkan tempat duduk dan turun. Kereta berhenti lama, sangat lama bahkan, hingga 1 jam lamanya. Wajah wajah baru menempati tempat duduk di hadapanku. 1 perempuan muda duduk sendirian di situ, entah hendak kembali pada rutinitas dan pekerjaannya atau sesuatu yang lain. Berkali kali telepon selulernya berdering dan berkali pula ia angkat. Nada nada kemarahan muncul dari mulutnya. Si penelepon mengungkapkan ketidakpercayaannya, perempuan itu berada di kereta. Mungkin bapaknya, entah siapa. Namun perempuan muda ini membuatku kembali merenungkan betapa kebohongan, kejujuran, ketidakpercayaan, selalu berputar putar dalam dinamika kehidupan. Betapa diplomasi sangat rekat dan hampir tidak berbatas dengan kesempatan membalik balikkan kenyataan.
Pada saat yang sama pula, bangku bangku yang telah ditinggalkan kawan kawan dari Semarang dipenuhi oleh serombongan laki laki. Ada yang berasal dari bangku lain, ada yang bersama dengan perempuan muda yang sibuk dengan telepon selularnya tadi, dan tentu saja bapak yang berkasus dengan petugas tadi. Percakapan terjadi di antara mereka, tampaknya si Bapak tidak se”lemah” yang aku bayangkan sebelumnya , seperti yang kukemukakan di atas. Dia berbicara menggebu, membicarakan masyarakat kecil yang makin tertindas, juga mengeluhkan perlakuan yang ia dapat dari petugas kereta api tadi. Logat betawi khas terdengar dari mulutnya, membicarakan para pengemudi angkot yang makin brutal, harga barang yang “gila gilaan”,dan sebagainya, sepertinya ia sudah sering menjadi bagian dari hiruk pikuk Jakarta, namun tetap saja  tak   ada aksi yang bisa dia lakukan di hadapan para penguasa. Dan itulah akhir dari perjalanan Kertajaya menuju Jatinegara. Jes.. gejes..gejes...