Saya hanya bisa berteriak teriak yang tidak menimbulkan pengaruh apa apa kecuali kepuasan batin saya meluapkan sebuah emosi. Mengingat track record saya yang memang suka berteriak di jalanan, memperingatkan orang orang yang bisa membahayakan jiwa para pemakai jalanan. Dan hari inipun saya dihadapkan lagi pada kenyataan tentang anak anak muda, yang sebenarnya saya sendiri sangat berharap pada mereka, bahwa mereka setidaknya berpikir untuk sebuah kehidupan yang sama sama dan semua orang mengalami dan menerimanya.
Saya tidak hanya menemui mereka pada satu ruas jalan, namun di 3 tempat berbeda dengan tingkat keberisikan yang cukup sama. Sama sama mengganggu ruang publik. Adakah kau memiliki sanggahan lain untuk anak muda macam begini? Di sore yang ramai ini, kemudian saya teringat pada salah satu berita di koran pagi tadi. Seorang mahasiswa tingkat akhir yang “melakukan aksi protes” pada pemerintah akhirnya meninggal. 98% dari tubuhnya terpanggang dalam api yang membara, dari bensin bercampur yang ia siramkan ke sekujur tubuhnya. Ia mengalami luka bakar parah. Lagi-lagi, sebuah potret lain anak muda memaparkan realitas yang sama sekaligus berbeda.
Benarkah ada kekecewaan pada pemerintah di balik aksi bakar diri yang menimpanya? Dan benarkah perilaku itu adalah penyikapan atas rasa kekecewaannya?
Apa yang dipikirkan seorang mahasiswa yang sedang sibuk mengerjakan tugas akhir demi kelanjutan hidupnya menuju jalan lain yang mungkin adalah sebuah perjuangan baginya. Ia pernah bergelut di bidang HAM bersama kontras, ia pasti mengenal benar sosok Munir sebagai kepala kontras walaupun mungkin hanya berasal dari tulisan, dengan begitu ia pasti tahu bagaimana langkah langkah Munir memperjuangkan sebuah Hak Azasi Manusia yang terabaikan, menguak kasus kasus mengerikan seputar pembunuhan buruh wanita,atau penegak ideologi beraliran kiri, dengan pendekatan humanis. Sebegitu pendekkah hasil dari proses kekecewaan terhadap pemerintah dari seorang koordinator pemuda pergerakan berujung?
Ada yang menjadi tidak sepakat dengan apa yang menimpa dirinya, ada yang sulit menilai karena beranggapan bahwa aksi ini adalah sebuah ekspresi heroik anak bangsa menyikapi bagaimana kondisi bangsanya. Setiap perlawanan harus diapresiasi, begitu katanya. Ada yang bersyukur ia mati karena bila tidak ia pasti akan menjadi artis dadakan yang mewarnai panggung politik dengan kecenderungan tertentu.
Dan ini, membuat saya tersangkut kembali pada tulisan seorang wartawan muda yang saya baca beberapa minggu silam. Aksi ini ia anggap sebagai bagian dari aksi radikal untuk bisa “mengguncang” pemerintah. Dalam tulisan sinisnya (menurut saya begitu) menanggapi para seniman yang meneriakkan penurunan pemerintah sebelum tahun 2014, ia mempertanyakan teriakan teriakan itu yang akhirnya tidak akan lagi terdengar gaungnya setelah mereka memijakkan kaki di karpet empuk, atau merebahkan diri dengan nyaman di kasur tidur mereka.
Saya juga tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh mereka kemudian, namun dari sini saya mempertanyakan lagi. Apakah anak muda ini mencoba membuktikannya? Apakah taruhan nyawa cukup untuk menggelitiki pemerintah yang sampai saat ini belum terdengar suaranya. Ataukah mahasiswa itu terlalu menahan beban berat ekonomi sekaligus beban sosial yang entah kapan akan terselesaikan.
Ataukah ada ketakutan ketakutan yang membuat sebuah pihak tertentu merasakan ketidaknyamanan dengan mahasiswa mahasiswa model Seperti ini? yang itu berarti mensyaratkan adanya sebuah tindak nyata untuk membuat orang orang berkarakter seperti ini harus pergi dari panggung, batas antara rakyat dan penguasa?
Dan lagi, ketika mulai masuk pada kehidupan nyata, kembali lagi menghadapi banyak manusia dan persoalan. Apa yang akan terjadi pada anak anak muda ini, penyikapan yang bagaimanakah yang akan diperbuat oleh kaum muda saat ini?
Dalam realitas yang sama, anak anak muda mengalami kekecewaan terhadap dunia.
Dalam realitas yang sama, anak anak muda memilih jalan hidupnya.