Kamis, 30 Agustus 2012

ngrasani.jangan ditiru-

 on Friday, August 17, 2012 at 4:53pm ·

Ketika sedang mengantar ibu saya yang sedang meringkuk ;) di rumah sakit, ke kamar mandi , saya merasa membutuhkan sepasang sandal. Ya, sandal, tentu sandal jepit yang empuk, dan nyaman dikenakan. Tapi, dasar saya memang orang yang suka berimajinasi, dan saya memang sedang dihantui oleh sepatu saya yang robek di belakang –entah kenapa ia tidak bersahabat di saat seperti ini, tidak mungkin kan saya sempat membeli sepasang sepatu di tengah kondisi lebaran yang pasti banyak orang berjubel dimana saja, segala umat tumplek blek di ruang ruang perbelanjaan--  pikiran saya langsung tertuju pada bu Wulan. Anda pasti tidak tahu siapa dia, dan saya tidak akan memberitahukan siapa dia lebih lanjut. Hanya karena nama ini cukup “aman” , maka saya berani berani saja menyebut namanya. Saya teringat ketika saya berkunjung ke rumahnya dan mendapati beberapa pasang sepatu, dan sandal dengan merk yang sering dijumpai di pusat pusat perbelanjaan kelas menengah agak berserak di halamannya. Merk merk itu memang cukup favorit di kalangan ibu ibu muda atau remaja putri yang cukup berduit atau setidaknya menaruh cukup perhatian pada telapak kaki mereka supaya tampak lebih berkelas. Awalnya saya memang tidak mengenal si bu wulan ini. Saya hanya mengetahui dimana tempat kerjanya dan bahwa dia cukup berduit ditilik dari perabot dan barang barang yang ia miliki. Namun setelah bertemu sejenak dan bercakap cakap, saya merasa agak “ilfil” dengannya. Saya tidak menemukan sesuatu yang istimewa darinya. Saya bahkan menganggap bahwa ia agak –maaf- kurang nyambung ketika diajak berbicara, dan saya menganggap ia adalah seorang perempuan yang terjajah oleh lifestyle. Saya agak menyayangkan bahwa saya menemui cukup banyak perempuan yang setipe dengan bu Wulan itu. Namun yang menjadi pertanyaan saya juga, kenapa orang seperti bu Wulan ini bisa bekerja di sebuah perusahaan yang cukup bonafit di kota saya ini walaupun saya tidak tahu ia menempati posisi apa. Dan kemudian saya teringat lagi pada profesi lain yang barangkali cukup menjanjikan bahwa banyak sekali orang orang yang bekerja sebagai pegawai bank, dengan tampilan fisik yang “lumayan” menarik dan lulusan dari jurusan (apa saja) entah sarjana pertanian, hukum, atau apapun saya mendapati mereka bekerja sebagai pegawai bank. Ketika saya sempat berbincang bincang dengan salah satunya,begini isi pembicaraannya,
 Ibu itu:  “Mbaknya dulu SMA X ya..”
Saya: “iya bu.. kalau ibu?”
Ibu itu : “Oh.. saya cuma SMA Y kok..”
Saya : Ooo…
si ibu ini merasa bahwa barangkali saya lebih dari beliau karena sekolah saya yang lebih favorit, padahal nyata nyata saat ini saya juga masih mempertanyakan makna favorit itu sendiri. Tapi membahas masalah itu dengannya rasanya kurang relevan, sehingga saya memilih untuk diam dan membatin. “Barangkali ibu salah bu berpikiran seperti itu, karena sebenarnya system pendidikan kita ini menyamaratakan kemampuan, padahal kita tahu bahwa setiap individu lahir dengan talentanya masing masing dan tidak bisa begitu saja diseragamkan. Namun bagaimana lagi, kita hidup dan berkembag dalam tuntutan kebutuhan ekonomi dan barangkali pula tuntutan penghargaan lingkungan sekitar. Sehingga seringkali kita memang tidak bisa melepaskan diri dari hal hal tersebut, dan terbawa pada mindframe bahwa bekerja sebagai pegawai bank akan membawa pada kebahagiaan hidup. *contohnya. Manusia manusia masa kini –barangkali angkatan beberapa tahun di atas saya, terutama orangtuanya—yang telah memasuki jebakan system pragmatis sulit untuk mengenali keunikan individu dan bagaimana pengembangannya.
Rasa rasanya saya lebih mendukung mereka menjadi ibu rumah tangga yang baik, yang akan memberikan banyak perhatian pada tumbuh kembang anaknya, yang akan memberikan pendidikan sesuai dengan minat dan bakatnya untuk berkontribusi penuh bagi kehidupan tanpa lupa memenuhi apa yang menjadi kebutuhan utamanya sesuai porsi. Melawan arus pragmatisme pendidikan yang telah menjadi system dan paradigma masyarakat kebanyakan.
Bahwa sampai saat ini saya memanglah masih seorang mahasiswa yang awam yang barangkali pula terlalu dangkal memandang bu Wulan, namun saya berharap bahwa nantinya system pendidikan kita tidak akan mencetak orang orang yang “seragam”, orang orang  yang hidup hanya untuk mengejar “gaya hidup” ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar