Kamis, 29 Maret 2012

Perjalanan Menyusur Kota part.1

Bergerak ke arah timur kali ini. mendekati tempat mas karebet pernah bertakhta. berkebalikan nama dengan kota ini.
Setelah satu minggu berada di tempat ini, berkumpul lagi dengan dengan orang orang ini. Ruangan berukuran sekitar 4x6 ini dipenuhi belasan anak laki laki berseragam putih abu. Mendengarkan seksama. Sesekali disertai derai tawa menyiratkan keakraban antara mereka. Wajah-wajah asing ini menatap papan tulis yang tersaji di hadapan mereka. mencermati.Satu di antara mereka , aku tampak pernah mengenalnya dan memang ialah yang seringkali menjadi bahan pembicaraan di antara rekan rekan sekerja. Entahlah, atau karena badannya yang mungil yang membuatnya menjadi perhatian. Tanpa aku harus bertanya aku mendapatkan kelengkapan ceritanya. Dia berada pada urutan pertama keturunan dalam silsilah yang dibuat dari ayah ibunya. Seringkali mereka berkata, ia sering tidak makan karena keterbatasan. Dua adik kecilnyapun bergantung kepadanya. Benarkah memang ada cerita dramatis seperti itu . Dalam hati setengah percaya. Ia sering datang ke tempat ini karena ia bisa mendapatkan makan siang disini, (keraguan kembali muncul??) namun perawakannya yang kecil seolah meyakinkan beban hidup yang harus ditanggungnya memang ada. Seolah mengikuti alur cerita sebuah sinema elektronik, kebutuhan makan dua adik kecilnya ditanggung dari uang sakunya sehari-hari, keingintahuannya yang besar membawanya pada sebuah perjalanan. Dalam hiruk pikuk kesibukan manusia modern, ia berjalan ke utara, menuju ibukota. Mencoba bertahan jauh dari orang tua dan berusaha mendapatkan segelintir uang. Dalam perjalanannya, tak sepeserpun uang ia bawa, memang karena tak punya. Hendak kembali ke kota ibunya, ia menghentikan laju sebuah mobil pribadi. Dalam waktu waktu sebelumnya, ia menjadi buruh cuci piring pada sebuah warung malam demi mendapatkan nasi bungkus pengobat laparnya. Menyanyikan beberapa lagu buat memberikan penghiburanpun ia lakukan untuk menyambung hidup dan bekal kembali.
Hingga kemudian ia menyadari.berada dekat keluarga adalah sebuah kebahagiaan besar.

a quote

From the shock of ideas, springs forth light :D

Jumat, 16 Maret 2012

Politik Cantik Politikus Muda


“Pengkhianatan adalah saudara kembar kekuasaan..” kata Fadjroel Rahman dalam salah satu novelnya. Teringat kembali bagaimana Yudas Iskariot mencium pipi Yesus seolah menaruh hormat sedalam dalamnya, padahal hal ini adalah satu trik yang digunakannya untuk menunjukkan yang manakah seseorang bernama Yesus, demi sekantong kepingan koin emas untuknya sendiri dan kelanggengan kekuasaan Ponsius Pilatus waktu itu. Intrik intrik semacam ini memang begitu sering kita jumpai dalam kehidupan politik dewasa ini, mulai dari intrik diam diam hingga blak blakan dan mudah terbaca oleh pihak lain. Dimulai dari judulnya, ternyata judul film ini mengadaptasi karya Shakespeare mengenai Julius Caesar yang akhirnya terbunuh oleh Marcus Junius Brutus, seorang pemimpin dari sekelompok anggota senator, didahului dengan sebuah pengkhianatan. “Beware of The Ides of March” . Dari sini memang cukup tersirat isi dari The Ides of March ini. Film berdurasi 1 jam 41 menit ini diawali dengan simulasi kampanye oleh Stephen Meyers, tokoh utama film ini. Ideologi nasionalis, kental dalam awalan simulasi kampanyenya. Ia mengatakan bahwa ia bukanlah seorang Kristen, bukan seorang atheis, bukan seorang Budha, bukan pula seorang Muslim. Namun agama dan keyakinannya adalah konstitusi Amerika. Ini hanyalah sebuah simulasi awal dari perjalanan diri menuju karir politik impiannya. Stephen Meyers adalah seorang konsultan politik muda yang baru berusia 30 tahun. Kala itu ia direkrut oleh Paul, seorang konsultan politik senior yang sudah cukup lama berkiprah dalam dunia peraihan dan berbagai intrik berkenaan dengan kekuasaan. Ia adalah seorang konsultan politik yang cukup idealis. Ia membantu George Clooney yang berperan sebagai Mike Morris, seorang gubernur yang hendak maju meraih kursi kepresidenan Amerika, dengan harapan bahwa Morris memang akan membawa kebaikan bagi masyarakat Amerika. Morris bersaing dengan Pullman, seorang senator dari salah satu negara bagian Amerika, keduanya berasal dari partai Demokrat. Dalam persaingannya, ada sebuah keyakinan bahwa peraih suara terbanyak di daerah Ohio, dialah yang akan mampu menduduki kursi kepresidenan. Dalam film ini, sangat terlihat bahwa persaingan di daerah Ohio merupakan persaingan yang begitu sengit dan peran media sangat menentukan opini masyarakat dan kredibilitas si calon presiden. Mike Morris memang telah unggul di beberapa daerah, dan ia sangat berusaha untuk mengulanginya lagi di negara bagian Ohio. Pada waktu yang tidak terduga, manajer kampanye Pullman, Buffy, menelepon Meyers dan mengatakan bahwa ia akan menceritakan sesuatu yang penting. Pada awalnya Meyers ragu ragu menanggapi telepon yang berbau kepentingan itu, sehingga kemudian ia menghubungi seniornya, namun seniornya itu sedang dalam perjalanan menggunakan pesawat, sehingga waktu itu ia memutuskan untuk pergi menemui Buffy. Dalam pertemuan singkat itu, Buffy menceritakan bagaimana stategi strategi yang digunakan oleh kelompok Pullman dan berusaha untuk menyatakan keunggulannya, karena tim Pullman telah merekrut Thompson dengan tawaran berupa kedudukan sebagai menteri Luar negeri. Thompson yang notabene memiliki dana dan dukungan suara masyarakat yang cukup besar, menjadi sebuah kekuatan tersendiri yang perlu diperhitungkan. Dalam moment itu, Buffy berusaha mempengaruhi Meyers dan memintanya untuk bergabung dalam tim Pullman. Membaca karakter Meyers yang idealis, cukup bisa ditebak bahwa ia akan enggan berpindah dari tim Morris kepada Pullman. Pada scene berikutnya, tampak Morris yang sedang berkampanye di hadapan ratusan pendukungnya, di balik hiruk pikuk itu, Meyers menceritakan pada Paul perihal pertemuannya dengan Buffy. Bagaimana strateginya memenangkan Ohio hingga perekrutan Thompson yang dirasa cukup membahayakan tim Morris karena bisa membuat Mike Morris kehilangan cukup banyak suara. Dari sini, Paul memutuskan bahwa mereka harus berbicara 6 mata dengan Morris. Dalam pertemuan itu, Morris bersikeras tidak mau menuruti saran Meyers yang memintanya merekrut Thompson untuk dapat memperkuat posisi.
 Di sisi yang lain, dalam film ini mengisahkan ada seorang gadis muda yang mendekati Meyers. Ia adalah salah seorang staf dari proses kampanye ini. Awalnya ada dugaan bahwa dia adalah seorang mata mata bayaran atau penyusup, namun ternyata dugaan saya salah dan akhir nasib gadis itu adalah sesuatu yang tragis. Ia adalah Molly Stearns, gadis cantik berusia 20 tahun, anak dari seorang politikus senior yang pernah menjabat sebagai seorang senator. Di bagian awal cerita, ia mengajak Meyers berkencan, namun tampak ada kesan mendalam di antara keduanya. Hal ini ditampakkan cukup baik dari adegan adegan yang menyertai pembicaraan keduanya. Ada kesan bahwa bagian ini memang sebuah bagian yang mempengaruhi proses kematangan Meyers dalam dunia politik. Dalam sebuah kesempatan lain, setelah tim Morris melakukan kampanye di sebuah negara bagian, Molly mengajak Meyers untuk kembali berkencan. Saat itulah, kebusukan kebusukan Morris sedikit terkuak. Ketika Molly telah tidur, ponsel Molly berdering, Meyers tidak menyadari bahwa itu adalah ponsel Molly, ia mengangkat telepon itu dan bertanya tanya siapa yang menghubunginya di pagi buta. Namun ternyata setelah ia lihat kembali, ternyata ponselnya tergeletak diam di atas meja sebelah ranjangnya. Ia mencurigai darimana telepon tadi, setelah Molly terbangun dan memaksanya menyerahkan ponselnya , Meyers melihat nama Morris tertera di layar ponsel itu. Dalam bagian ini penonton bisa cukup dibingungkan dengan pembicaraan yang tampak sangat abstrak. Meyers memaksanya bicara, apa yang menyebabkan  gubernur meneleponnya di pagi buta. Awalnya ia hanya menangis, dan Meyers menanyainya lagi mengapa ia bergabung lagi menjadi staf kampanye pemenangan Morris. Pada saat itu ia mengatakan bahwa ia membutuhkan uang sebesar 900 dollar. Ia mengatakan bahwa ia tak mungkin meminta uang dari ayahnya, karena keluarganya adalah Katolik yang taat. Sebagian penonton mungkin bertanya tanya mengenai maksud dari perkataan Molly. Dalam percakapan ini Molly menjelaskan bagaimana proses ia bisa melakukan kesalahan yang cukup fatal yang membuat Meyers menyebutnya “terlalu muda dan berbahaya untuk berada dalam hiruk pikuk politik”. Ia menceritakan bahwa pada saat ia sedikit mabuk, Morris menarik punggungnya dan mengajaknya berhubungan seks. Dari sini cukup dimengerti hal apa yang berhubungan dengan “Katolik yang taat”, umat Katolik meyakini bahwa aborsi tidak diperkenankan karena aborsi merupakan sebuah tindakan menghabisi nyawa orang lain dan hal ini menyalahi 10 perintah Tuhan yang telah ditulis dalam dua loh batu. Pada saat itu juga, Meyers menyuruhnya membuat janji dengan dokter untuk mengaborsi kandungannya, keluar dari tim kampanye Morris dan pergi jauh dari sana, karena apa yang telah dilakukan oleh Morris dapat membahayakan kemenangannya, mengingat ada undang undang perlindungan anak, dan hal itu termasuk pelanggaran terhadap undang undang tersebut. Beberapa esok kemudian, Meyers memberi Molly uang sekaligus mengantarkannya ke dokter kandungan. Scene ini memberikan banyak warna emosi bagi keduanya. Stephen Meyers memerankan adegan ini dengan brilian sehingga tampak adanya proses perubahan perubahan emosi dalam dirinya. Tampak kemarahan dan kekecewaan luar biasa terhadap lingkungan yang mengitarinya.
Di saat saat yang cukup genting bagi Meyers, ia mendapatkan tekanan dari Ida, seorang wartawati Times yang cukup berpengaruh dalam mengabarkan liputan liputan paling hangat menjelang pemilu. Ia mempertanyakan perihal pertemuannya dengan Duffy. Salah langkah dalam menghadapinya, berpengaruh besar pada opini publik yang terbentuk. Dalam scene ini, Meyers yang merasa diperas menghubungi Duffy dan meminta sebuah pertanggungjawaban apakah ia membuka rahasia perihal pertemuan itu dengan dirinya. Duffy bersumpah tidak, dan Meyers mengatakan hal yang sama. Setelahnya, Meyers mempertanyakan hal tersebut pada Paul. Dan pernyataan yang begitu mengejutkannya keluar dari mulut Paul. Paul memecatnya secara sepihak. Bukan hanya itu, ia menambahkan, berbagai wejangan yang sangat membekas bagi Meyers. Paul yang sangat menjunjung tinggi loyalitas mempertanyakan kembali loyalitas Meyers, mengapa ia sampai sampai bisa melakukan sebuah pertemuan dengan Duffy. Sebuah pertemuan dengan pesaing, bukankah hal ini begitu riskan? Paul menambahkan, pilihan sikapnya untuk menemui Duffy membuktikan bahwa ia merasa dirinya pintar dan dibutuhkan, hal ini cukup menyalahi konsep loyalitas yang dijunjung oleh Paul. Meyers yang sebelumnya merasa bahwa ia telah benar benar mengabdikan hidupnya bagi kemenangan Morris merasa sangat hancur dan terombang ambing, dia pergi dengan kebencian yang membara. Sebuah pilihan yang membawanya untuk memohon pekerjaan pada Duffy, ditampakkan menjadi gejolak emosionalitas politikus muda Meyers. Dalam pilihan itu pula, ia semakin yakin bahwa politik memang memiliki berbagai rupa dan warna, mengaduk gejolak emosi, dan berusaha mematikan perasaan. Duffy terang terangan menolak permintaannya, karena menerimanya seolah menerima “barang bekas yang sudah tidak terpakai.” Dalam kegelisahan dan kemarahan yang semakin memuncak, ia teringat bahwa ia harus menjemput Molly di dokter. Di waktu yang bersamaan, Molly telah selesai dan terlalu lama menunggu hingga memutuskan untuk kembali ke apartemennya. Di situlah, ia menerima kabar bahwa Meyers telah dipecat dari tim kampanye pemenangan Morris. Sebuah pukulan besar bagi Molly, kekhawatiran akan hidupnya sendiri. Hidupnya sendiri yang mungkin dipertaruhkan orang lain.
Meyers tidak menemukan Molly di dokter kandungan, dan langkahnya membawa ia ke apartemen Molly. Di kamar Molly telah ramai polisi dan penyidik. Molly, gadis muda berusia 20 tahun, putri dari seorang mantan petinggi politik di Amerika, ditemukan tewas dengan obat obatan berceceran di sekitarnya.
Polisi mengabarkan pada khalayak bahwa Molly over dosis obat.
Tentu saja Meyers memahaminya.
Status Molly sebagai staf Morris membuat Morris harus memperlihatkan rasa simpati dan hormatnya kepada mantan staffnya yang juga membantunya dalam tim kampanyenya. Saat ia secara resmi menyampaikan rasa belasungkawanya di muka publik, ia dikejutkan oleh nama Molly yang tertera di layar ponselnya. Dari kejauhan, tampak seorang lelaki dengan wajah penuh kebencian menempelkan ponsel di telinganya. Stephen Meyers menuntut posisinya kembali dan pemecatan terhadap Paul dengan sebuah ancaman bahwa Molly meninggalkan sebuah pesan padanya, yang bisa mengakibatkan posisinya terancam. Awalnya Morris tidak gentar menghadapi gertakan itu dan merasa bahwa itu hanyalah sebuah gertakan dari seorang politikus muda yang kecewa. Namun pada akhirnya, Morris menuruti juga apa yang diperintahkan oleh Meyers dengan segala pertimbangan yang ia tunjukkan, bahwa ia bisa berhasil merekrut Thompson dengan penawaran jabatan lebih tinggi dari menteri luar negeri dan Thompson yang akan membuat suara dan dananya terdongkrak. Film ini berakhir dengan kemenangan Morris dengan Thompson sebagai wakilnya,terutama kemenangan Meyers (juga pada Paul ) yang membuktikan ketangguhannya di ramainya hiruk pikuk politik.