on Friday, August 17, 2012 at 4:53pm ·
Ketika
sedang mengantar ibu saya yang sedang meringkuk ;) di rumah sakit, ke
kamar mandi , saya merasa membutuhkan sepasang sandal. Ya, sandal, tentu
sandal jepit yang empuk, dan nyaman dikenakan. Tapi, dasar saya memang
orang yang suka berimajinasi, dan saya memang sedang dihantui oleh
sepatu saya yang robek di belakang –entah kenapa ia tidak bersahabat di
saat seperti ini, tidak mungkin kan saya sempat membeli sepasang sepatu
di tengah kondisi lebaran yang pasti banyak orang berjubel dimana saja,
segala umat tumplek blek di ruang ruang perbelanjaan-- pikiran
saya langsung tertuju pada bu Wulan. Anda pasti tidak tahu siapa dia,
dan saya tidak akan memberitahukan siapa dia lebih lanjut. Hanya karena
nama ini cukup “aman” , maka saya berani berani saja menyebut namanya.
Saya teringat ketika saya berkunjung ke rumahnya dan mendapati beberapa
pasang sepatu, dan sandal dengan merk yang sering dijumpai di pusat
pusat perbelanjaan kelas menengah agak berserak di halamannya. Merk merk
itu memang cukup favorit di kalangan ibu ibu muda atau remaja putri
yang cukup berduit atau setidaknya menaruh cukup perhatian pada telapak
kaki mereka supaya tampak lebih berkelas. Awalnya saya memang tidak
mengenal si bu wulan ini. Saya hanya mengetahui dimana tempat kerjanya
dan bahwa dia cukup berduit ditilik dari perabot dan barang barang yang
ia miliki. Namun setelah bertemu sejenak dan bercakap cakap, saya merasa
agak “ilfil” dengannya. Saya tidak menemukan sesuatu yang istimewa
darinya. Saya bahkan menganggap bahwa ia agak –maaf- kurang nyambung
ketika diajak berbicara, dan saya menganggap ia adalah seorang perempuan
yang terjajah oleh lifestyle. Saya agak menyayangkan bahwa
saya menemui cukup banyak perempuan yang setipe dengan bu Wulan itu.
Namun yang menjadi pertanyaan saya juga, kenapa orang seperti bu Wulan
ini bisa bekerja di sebuah perusahaan yang cukup bonafit di kota saya
ini walaupun saya tidak tahu ia menempati posisi apa. Dan kemudian saya
teringat lagi pada profesi lain yang barangkali cukup menjanjikan bahwa
banyak sekali orang orang yang bekerja sebagai pegawai bank, dengan
tampilan fisik yang “lumayan” menarik dan lulusan dari jurusan (apa
saja) entah sarjana pertanian, hukum, atau apapun saya mendapati mereka
bekerja sebagai pegawai bank. Ketika saya sempat berbincang bincang
dengan salah satunya,begini isi pembicaraannya,
Ibu itu: “Mbaknya dulu SMA X ya..”
Saya: “iya bu.. kalau ibu?”
Ibu itu : “Oh.. saya cuma SMA Y kok..”
Saya : Ooo…
si ibu ini merasa bahwa barangkali saya lebih dari beliau karena sekolah saya yang lebih favorit, padahal nyata nyata saat ini saya juga masih mempertanyakan makna favorit itu sendiri. Tapi membahas masalah itu dengannya rasanya kurang relevan, sehingga saya memilih untuk diam dan membatin. “Barangkali ibu salah bu berpikiran seperti itu, karena sebenarnya system pendidikan kita ini menyamaratakan kemampuan, padahal kita tahu bahwa setiap individu lahir dengan talentanya masing masing dan tidak bisa begitu saja diseragamkan. Namun bagaimana lagi, kita hidup dan berkembag dalam tuntutan kebutuhan ekonomi dan barangkali pula tuntutan penghargaan lingkungan sekitar. Sehingga seringkali kita memang tidak bisa melepaskan diri dari hal hal tersebut, dan terbawa pada mindframe bahwa bekerja sebagai pegawai bank akan membawa pada kebahagiaan hidup. *contohnya. Manusia manusia masa kini –barangkali angkatan beberapa tahun di atas saya, terutama orangtuanya—yang telah memasuki jebakan system pragmatis sulit untuk mengenali keunikan individu dan bagaimana pengembangannya.
Rasa rasanya saya lebih mendukung mereka menjadi ibu rumah tangga yang baik, yang akan memberikan banyak perhatian pada tumbuh kembang anaknya, yang akan memberikan pendidikan sesuai dengan minat dan bakatnya untuk berkontribusi penuh bagi kehidupan tanpa lupa memenuhi apa yang menjadi kebutuhan utamanya sesuai porsi. Melawan arus pragmatisme pendidikan yang telah menjadi system dan paradigma masyarakat kebanyakan.
Bahwa sampai saat ini saya memanglah masih seorang mahasiswa yang awam yang barangkali pula terlalu dangkal memandang bu Wulan, namun saya berharap bahwa nantinya system pendidikan kita tidak akan mencetak orang orang yang “seragam”, orang orang yang hidup hanya untuk mengejar “gaya hidup” ^_^
Ibu itu: “Mbaknya dulu SMA X ya..”
Saya: “iya bu.. kalau ibu?”
Ibu itu : “Oh.. saya cuma SMA Y kok..”
Saya : Ooo…
si ibu ini merasa bahwa barangkali saya lebih dari beliau karena sekolah saya yang lebih favorit, padahal nyata nyata saat ini saya juga masih mempertanyakan makna favorit itu sendiri. Tapi membahas masalah itu dengannya rasanya kurang relevan, sehingga saya memilih untuk diam dan membatin. “Barangkali ibu salah bu berpikiran seperti itu, karena sebenarnya system pendidikan kita ini menyamaratakan kemampuan, padahal kita tahu bahwa setiap individu lahir dengan talentanya masing masing dan tidak bisa begitu saja diseragamkan. Namun bagaimana lagi, kita hidup dan berkembag dalam tuntutan kebutuhan ekonomi dan barangkali pula tuntutan penghargaan lingkungan sekitar. Sehingga seringkali kita memang tidak bisa melepaskan diri dari hal hal tersebut, dan terbawa pada mindframe bahwa bekerja sebagai pegawai bank akan membawa pada kebahagiaan hidup. *contohnya. Manusia manusia masa kini –barangkali angkatan beberapa tahun di atas saya, terutama orangtuanya—yang telah memasuki jebakan system pragmatis sulit untuk mengenali keunikan individu dan bagaimana pengembangannya.
Rasa rasanya saya lebih mendukung mereka menjadi ibu rumah tangga yang baik, yang akan memberikan banyak perhatian pada tumbuh kembang anaknya, yang akan memberikan pendidikan sesuai dengan minat dan bakatnya untuk berkontribusi penuh bagi kehidupan tanpa lupa memenuhi apa yang menjadi kebutuhan utamanya sesuai porsi. Melawan arus pragmatisme pendidikan yang telah menjadi system dan paradigma masyarakat kebanyakan.
Bahwa sampai saat ini saya memanglah masih seorang mahasiswa yang awam yang barangkali pula terlalu dangkal memandang bu Wulan, namun saya berharap bahwa nantinya system pendidikan kita tidak akan mencetak orang orang yang “seragam”, orang orang yang hidup hanya untuk mengejar “gaya hidup” ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar